Kamis, 16 Oktober 2008

Zakat : Sub Sistem Ekonomi Islam Dalam

Zakat : Sub Sistem Ekonomi Islam Dalam
Mengentaskan Kemiskinan


Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT ke bumi sebagi rahmat atas seluruh alam semesta. Sebagaimana firman-Nya : ”Dan tiada Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya : 107). Salah satu rahmat yang ada di dalam Islam adalah adanya syariat yang lengkap dan paripurna yang mampu meyelesaikan berbagai persolan manusia di setiap waktu dan tempat. Di pertengahan bulan ramadhan ini, ada satu syariat Islam yang menarik untuk dikaji, yakni syariat zakat.
Menurut Sulaiman Rosyid, zakat adalah kadar harta tertentu yang diberikan pada yang berhak menerima dengan beberapa syarat. Sudah menjadi suatu ma’lumun min al dien min bil dhorurah atau pemahaman umum di tengah ummat bahwa Zakat adalah salah satu syariat yang diwajibkan untuk dilaksanakan oleh kaum muslimin yang memiliki kemampuan. Perintah zakat sendiri diambil dari firman Allah SWT : Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah : 103)
Begitu pentingnya kewajiban zakat ini sehingga Khalifah pertama kaum muslimin, Abu Bakar As Shidiq diawal masa jabatannya sebagai Khalifah memerangi sebuah kaum diantara kaum muslimin karena mereka tidak mau membayar zakat dengan alasan komitmen menjalankan syariat Islam hanya pada Muhammad sehingga setelah Rasulullah SAW wafat mereka menganggap tidak perlu lagi membayar zakat. Membaca ijtihad Abu Bakar ini memberikan makna bahwa zakat adalah suatu kewajiban yang tak terbantahkan bahkan merupakan salah satu dari lima pilar Islam selain syahadat, sholat, puasa, dan berhaji. Bahkan Rasullullah SAW sendiri mengancam orang kaya yang tidak mau membayar zakat dengan ancaman yang keras. Dari Abu Hurarirah RA,”Rasulullah SAW telah bersabda,” Seseorang yang menyimpan hartanya, tidak dikeluarkan zakatnya, akan dibakar dalam neraka jahanam, baginya dibuatkan strika dari api kemudian distrikakan ke lambung dan dahinya ….. (HR. Ahmad & Muslim).
Tujuan melaksanakan syariat zakat sendiri adalah untuk membersihan dan mensucikan sebagaimana tercantum dalam QS. At Taubah : 103 diatas. Membersihkan maknanya adalah membersihkan manusia dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda, sedangkan mensucikan maksudnya menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati dan memperkembangkan harta benda mereka. Maka sungguh wajar bila orang yang tidak mau mengeluarkan zakatnya mendapat hukuman yang amat pedih. Karena orang yang tidak mau membayarkan zakatnya merupakan cerminan bahwa yang bersangkutan mempunyai sifat kikir, cinta dunia dan tidak memiliki sifat yang baik dalam hatinya. Selain itu Zakat merupakan piranti dalam Islam untuk menjaga keseimbangan sosial dalam masyarakat dan mendorong adanya sifat saling tolong menolong antara si kaya dan si miskin. Oleh karena itu seorang yang tidak mau berzakat pada dasarnya adalah orang yang bakhil dan tidak peduli terhadap sesamanya.
Sebaliknya orang yang telah menunaikan kewajiban zakatnya insyaAllah dia akan mendapat beberapa kebaikan, diantaranya :
1. Menolong sesama untuk menunaikan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat
2. Membersihkan diri dari sifat kikir dan akhlaq yang tercela lainnya
3. Representasi dari rasa syukur atas anugerah SWT kepada dirinya
4. Meminimalisir terjadinya kriminalitas karena dengan berzakat sesunggunhya dapat menghilangkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat





Tata Cara Berzakat

Setiap perintah yang diturunkan oelh Allah SWT kepada manusia senantiasa memiliki fikroh dan thariqoh. Fikroh adalalah pemikiran tentang syariat itu sendiri, adapun thariqoh adalah tata cara dalam menjalankan perintah Allah tersebut. Begitupun dengan zakat, dia memiliki tata cara khusus dalam pengamalannya. Dengan kata lain sebuah niat baik beribadah kepada Allah tidak cukup hanya di dasari dengan ikhlas tapi juga harus dilaksanakan sesuai dengan cara yang telah ditentukan.
Zakat sendiri terbagi menjadi 2, yakni zakat fitrah dan zakat maal. Zakat fitrah adalah harta yang wajib dikeluarkan bagi seorang mukmin yang pada hari raya tanggal 1 syawal memiliki kelebihan makanan bagi dirinya dalam hari itu. Bahkan sebagian ulama berpendapat seorang bayi dalam kandungan ibunya wajib dikeluarkan zakatnya oleh orang tuanya bila bayi tersebut telah memiliki ruh atau usia kandungan sekitar 16 minggu. Zakat fitrah ini menurut imam syafi’i wajib dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok yang biasa dimakan. Sedangkan imam Hanafi membolehkan mengeluarkan zakat dalam bentuk makanan pokok ataupun dirupakan uang. Adapun besaran yang harus dikeluarkan adalah sebesar 1 sha’. Hal ini di dasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang artinya : Dari abu said, ia berkata, “kami mengelaurkan zakat fitrah 1 sha’ dari makanan gandum, kurma, susu kering atau anggur kering.” (HR. Bukhari Muslim).
1 sha’ kurang lebih sama dengan 4 mud, sementara 1 mud sama dengan 544 Gr, sehingga 1 sha’ setara dengan 4 x 544 Gr = 2.176 Gr dan biasanya dibulatkan menjadi 2.5 Kg. Adapaun waktu dikeluarkannya zakat fitrah ini adalah semenjak 1 Ramadhan hingga menjelang sholat ied pada pagi hari tanggal 1 Syawal. Namun bila mencontoh sahabat Umar bin Khatab dan Usman bin Affan, beliau mengeluarkan zakatnya 1 atau 2 hari sebelum idul fitri. Zakat fitrah ini menurut jumhur ulama hanya boleh dibagikan pada 2 golongan, yakni fakir dan miskin.
Berbeda dengan zakat fitrah, zakat maal atau zakat harta tidak harus dikeluarkan pada bulan Ramadhan. Zakat Maal dari sisi waktu pengeluarannya terbagi atas 2 macam, yakni 1) zakat yang dikeluarkan tiap tahun (12 bulan & tidak harus di bulan ramadhan) yang meliputi : Zakat binatang ternak, zakat emas & perak, zakat harta perniagaan serta zakat penghasilan. 2) zakat yang dikeluarkan setiap panen, yakni zakat pertanian serta zakat harta Rikaz (Harta temuan / Hadiah ) yang dikeluarkan pada tiap mendapatkan harta tersebut. Adapun yang berhak menerima zakat maal ini ada 8 golongan sebagaimana disebutkan dalam QS. At taubah : 60, yang artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa orang fakir adalah orang yang memiliki harta namun jumlahnya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, namun masih dapat mencegah dirinya dari perbuatan meminta - minta. Orang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta dan sumber penghasilan tetap untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan terjerumus dalam perbuatan meminta - minta. Amilin adalah orang yang oleh Khalifah yang pekerjaanya semata – mata hanya untuk mengumpulkan zakat. Mualaf artinya orang – orang yang baru masuk Islam dan dipandang bila diberi zakat akan menguatkan mereka dalam memeluk dien Islam. Riqob adalah budak yang diberi harta zakat guna menebus dirinya pada tuannya sehingga dapat membebaskan diri dari perbudakan. Namun saat ini perbudakan sudah tidak ada dan sebagian ulama menafsirkan pos zakat ini bisa digunakan untuk membiayai pembebasan suatu negeri Islam dari penjajahan orang – orang kafir. Gharimin adalah orang yang memiliki hutang untuk memenuhi kebutuhan yang bukan untuk maksiat dan hutang tersebut tidak sanggup dibayarnya. Fi Sabilillah adalah orang yang berjuang di jalan Allah dan perjuangannya tersebut bisa dibiayai melalui perolehan zakat. Jumhur ulama menafsirkan fi sabilillah ini sebagai jihad atau amal lain untuk menegakkan agama dan hukum Allah. Ibnu Sabil adalah seseorang yang kehabisan bekal di tengah perjalanannya dengan tujuan perjalanan bukan bermaksiat. Besaran zakat yang diberikan adalah sejumlah yang cukup baginya menyelesaikan perjalanan tersebut dan kemudian kembali ke tempat asalnya.

Pemberdayaan Zakat Guna Mengentaskan Kemiskinan

Islam memiliki pandangan berbeda dengan kaum kapitalis dalam melihat kemiskinan. Islam memandang setiap orang secara pribadi dan bukan secara kolektif sebagai komunitas hidup dalam sebuah Negara. Oleh karena itu Islam tidak memandang miskin dan kayanya suatu masyarakat pada tinggi rendahnya pendapatan perkapitanya suatu masyarakat, namun bagi Islam problem kemiskinan adalah akibat dari lemahnya distribusi kekayaan di suatu masyarakat. Oleh karena itu arah politik ekonomi Islam bukan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sebuah Negara semata namun juga adalah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap warga Negara secara layak.
. Ummat Islam di Negeri ini harus serius untuk melihat dengan cermat mencari jalan keluar mengatasi kemiskinan. Gerakan common enemy untuk perang kemiskinan sebagai kuncinya. Diawali dengan cara mewujudkan tatanan ekonomi yang memungkinkan lahirnya sistem distribusi yang adil, mendorong lahirnya kepedulian dari orang berpunya (ahl-aghniya) terhadap kaum fakir, miskin, serta kesadaran untuk meningkatkan kualitas diri, etos kerja dan sikap optimisme terhadap perubahan kehidupan. Salah satunya ialah transformasi kesadaran kesediaan sepenuhnya untuk membayar zakat.
Zakat adalah sebuah syariat Allah yang merupakan sub sistem ekonomi Islam. Zakat, infaq dan shadaqoh adalah salah satu piranti yang digunakan untuk mendistribsuikan harta di tengah masyarakat secara adil. Hal ini sesuai firman Allah SWT, yang artinya :“ ..... supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” QS. Al Hasyr ; 7).
Ayat diatas memerintahkan agar harta tidak terkumpul hanya di segolongan orang kaya saja, namun juga harus terbagi secara nyata dan adil pada tiap warga. Melalui zakat inilah pembagian harta dapat dilakukan. Jika kita berkaca kepada sejarah Islam. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai memerintah saat ekonomi Islam sedang bangkrut karena pemimpinnya yang berfoya-foya. Dua tahun dia memimpin dengan menerapkan sistem ekonomi Islam termasuk melaksanakan syariat zakat secara tepat dia menemukan tiada lagi warganya yang berhak menerima zakat kecuali sang khalifah sendiri yang jadi mustahik, sementara rakyatnya telah menjadi muzakki.
Mungkin akan timbul pertanyaan pada diri kita, apakah zakat benar – benar mampu mengentaskan kemiskinan ? Jawabannya : Bisa !. Sebagai gambaran dapat penulis sampaikan Saat ini ada empat pendapat yang dapat diacu seputar potensi zakat. Pendapat pertama, saat menjabat Menteri Agama, Said Agil Munawar menyatakan potensi zakat sekitar Rp 7 triliun per tahun. Pendapat kedua, PIRAC yakin zakat mencapai Rp 9 triliun. Pendapat ketiga, PBB UIN menegaskan per tahun zakat bisa terhimpun di angka Rp 19 triliun. Bahkan Eri Sudewo dari Dompet Dhuafa memprediksikan potensi ideal zakat masyarakat Indonesia mencapai Rp. 32.4 Trilliun per tahun. Sungguh suatu nilai yang luar biasa. Jikalau jumlah sebesar itu dapat terkumpul serta terdistribusi secara tepat niscaya jumlah orang miskin akan sangat berkurang.
Secara garis besar kita dapat menghitung bila tiap keluarga miskin di negeri mendapatkan modal usaha kecil sebesar Rp 10 juta per Kepala Keluarga (KK), maka dengan zakat sebesar Rp. 32.4 Trilliun setidaknya setiap tahun terdapat 324 Ribu KK atau sekitar 1.3 juta jiwa dapat diusahakan mandiri secara ekonomi sehingga dapat mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Dan secara bertahap dapat mengurangi angka kemiskinan di negeri ini yang saat ini mencapai 37 juta jiwa. Namun sayangnya menurut data Forum Zakat (FOZ), total himpunan Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (BAZ) hanya mencapai Rp 250 miliar di periode tahun 2005, Tragisnya lagi, jumlah tersebut juga sudah termasuk infak sedekah dan wakaf. Maka wajarlah bila upaya perbaikan ekonomi susah dilakukan, mengingat begitu kecilnya dana ummat yang terkumpul guna usaha pemberdayaan masyarakat. Ditambah lagi dengan adanya budaya korupsi di masyarakat dan sistem ekonomi kapitalis yang dianut negeri ini membuat upaya pengentasa kemiskinan menjadi usaha yang sangat sulit.

Khatimah

Sebenarnya jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah SWT untuk manusia lebih dari mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan sistem yang menjalankannya. Disamping juga Tentunya dengan Mendorong optimalisasi gerakan zakat melalui : 1) membangunnya lembaga pengelola zakat yang bekerja dengan sungguh-sungguh (profesional) dan manajemen sumber daya manusia yang handal, amanah. 2) Lembaga pengelola ZIS yang mampu mendistribusikan zakat secara tepat sasaran dan tepat guna. 3) Sosialisasi mengenai syariat zakat. Sosialisasi zakat haruslah lebih progressif dan lebih gencar lewat-lewat media massa, TV, radio, mimbar – mimbar jum’at, majelis ta’lim dsb. Utamanya agar zakat tidak dipahami hanya sebagai zakat fitrah belaka yang dikeluarkan pada akhir Ramadhan jelang awal Syawal. Tetapi tetap seterusnya selama 12 bulan masih dapat menunaikan zakat maal, sedeqah, infak, maupun wakaf.
Sungguh zakat "tidak bisa" dilakukan secara personal, melainkan seharusnya ia dikelola secara berjama’ah untuk mendapatkan kemanfaatan yang besar. Oleh karena itu kesadaran kaum muslimin dalam menunaikan zakat sangat berkorelasi dengan upaya pengentasan kemiskinan. Setetes air tentu tidak dapat menghilangkan dahaga, tapi seteguk air lah yang mampu menghilangkan dahaga tadi. Ketika potensi zakat Indonesia betul-betul maksimal, niscaya kita akan lebih cepat mengurangi angka kemiskinan yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Wallahu a’lam bi asshowab

2 komentar:

dietha mengatakan...

Assalamu'alaikum wr.wb,.. Ajakan ini benar2 sangat bermanfaat,.. tapi ada yang ingin saya tanyakan,... Zakat, selain dapat diberikan pada yatim piatu, apakah juga bisa diberikan pada anak balita yang ditinggal pergi orang tuanya dan tidak diberikan nafkah sama sekali, dan anak itu dipelihara oleh kakek, neneknya yang kekurangan, walaupun ada penghasilan tidak seberapa, tapi dengan usia kakek/neneknya yang sudah tua, dan masih memiliki anak yang dalam tanggungan pendidikan, apakah anak balita tersebut bisa saya berikan zakat penghasilan tiap bulan untuk keperluannya dalam mencukupi masa pertumbuhannya? terimasih, sangat menanti jawaban,.. wassalam

dietha mengatakan...

Asslmu'alaikum..

Saya ingin bertanya, haruskah dalam memberikan zakat diwajibkan 'mengucap'/ melafadzkan? seperti 'ini zakat penghasilan saya, mohon diterima'... saya pernah diberi tahu, kalau kita mengeluarkan zakat tanpa melafadzkan niat kepada orang yang menerima, maka pahalanya tidak sampai/ atau tidak afdol, dan sia2 menjadi sedekah,.. ? dan bila benar, bagaimanakah bila kita memberikan zakat pada yayasan, atau badan zakat, atau lewat transfer atm? yang mana tidak bertemu langsung dengan sipenerima?? jazakkAllah Khairan..